Pembaca

20 Agustus 2010

Etape IV: Situbondo – Paiton – Guluk-Guluk (Selasa, 13 April 2010)


Pagi yang cerah, hari itu adalah hari terakhir perjalanan kami. Suasana di Panji Kidul, di pagi hari, selalu sepi. “Di mana kudapatkan kopi, ya?” batinku. Tak lama, sebelum aku berkemas-kemas, seorang santri datang menghampirku yang duduk sendiri, membawa secangkir kopi. “Berada di tempat ini bukan seperti di surga, hanya seolah-oleh berapa langkah kaki saja ke sana.” Apa yang terbayang dalam pikiranku, langsung tersedia saat itu pula. Subhanallah.

Sambil bermalas-malasan di emperan, aku menunggu ibuku dan istri yang juga menunggu hantaran buah tangan dari Arjasa. Setelah siap, barulah kami berangkat. Odometer menunjukkan 5703.

Di Panarukan, colt T parkir lagi. Kami tiba menjelang siang. Di sini kami hanya singgah sebentar, menikmati jamuan sebagai tamu, istirahat dan mandi untuk membersihkan tubuh. Sekitar jam satu siang lewat sekian, aku mengemudi lagi agar sopir utama dapat istirahat lebih lama. Kami meninggalkan halaman rumah Kiai Arif Zubairi dengan catatan angka 5716.

Gigi demi gigi dinaikkan. Di perseneling terakhir, pedal gas kuinjak rata agar putaran mesin stabil pada kecepatan 80-90 KM/jam. Mobil melaju melintasi Pasir Putih, Mlandingan, dan baru masuk pompa bensin di Besuki. Fulltank kudapat setelah menukarnya dengan 7 lembar uang kertas duapuluh ribuan. Perjalanan berlanjut ke Nurul Jadid untuk mengambil perlengkapan anakku yang tertinggal hari Ahad lalu. Ambil barang, putar balik, pulang.


Kami meninggalkan Nurul Jadid pada angka odo tertera 5777 (Panarukan–Nurul Jadid=61) saat kemudi dipegang kembali oleh Lutfi. Setelah itu, tak ada cerita lagi karena perjalanan monoton seperti biasa.

Berjalan ke arah barat di waktu sore membuat kami kesilauan karena berhadapan langsung dengan sinar matahari. Dalam etape terakhir ini, alhamdulilah cerita biasa saja: tak ada kejutan, tak ada mogok. Jalan pun juga lancar tanpa macet. Mesin bekerja secara normal.



Sambil mengenang peristiwa mogok Sabtu malam ketika berangkat, kami istirahat dan shalat sejenak di sebuah masjid yang gelap di dekat Pasar Porong. Jamaah shalat Isya’ mungkin sudah pulang. Masjid itu telah sepi.

Lutfi masih terus mengemudi hingga mobil masuk Pasar Turi. Aku memandu arah jalan, mendampingi di sisi kiri. Namun, persis di lampu lalulintas perempatan Kedung Cowek, kejutan kembali terjadi. Ketika membuntuti sebuah truk kosong, belok kiri dari arah Jalan Kenjeran ke akses Suramadu, serombongan polantas menghentikan mobilku. Saat itu, yang kuperhatikan justru seluruh isi kabin, para penumpang: ibu, istri, dan anakku yang tertidur pulas karena capek; oleh-oleh yang bertumpuk, wajah sopir yang kuyu, semua telah menggurat penglihatanku sebelum petugas itu mengucapkan “selamat malam” dan meminta STNKB ditunjukkan.

Lutfi, masih dengan gaya biasanya, diam saja. Ia begitu culun, hanya memandangku seolah tidak sedang terjadi apa-apa. Dia tersenyum. Aku berimprovisasi, bersikap dingin untuk melihat bagaimana reaksi dia menghadapi sandiwara ini. Mengapa sandiwara? Ya, sebab dengan mata kepala sendiri aku melihat secara nyata bahwa saat menjalankan kendaraan, Lutfi benar-benar tidak melanggar rambu-rambu lalu-lintas. Ia tidak menerobos lampu merah dan tidak pula menggunting marka jalan tanpa-putus. Kami berada persis di belakang truk dari arah 200-an meter sebelum traffic light. Tetapi, mengapa polantas itu mencegat colt T-120 dan tidak mencegat si Fuso? Spontan, saat itu pula, dalam benakku muncul praduga, “Ini pasti karena efek kontur wajahmu, duhai Colt T-120-ku!”

Seorang petugas mendekat, bersandar ke pintu kanan. Ia menyeru kami agar mematikan lampu utama tanpa perlu mematikan mesin. Untuk apa? Kami ikuti saja sambil menduga-duga untuk apa perintah tidak jelas juntrungnya ini. Samar, kutemukan jawabnya, tapi kusimpan dalam hati dan tidak perlu ditulis di sini.

Setelah “selamat malam” (dan seterusnya); “dari mana?” (dan seterusnya); “mau ke mana?” (dan seterusnya); “Anda melanggar marka jalan” (dan seterusnya); bapak petugas menutup hidangan malam itu dengan “tilang sebagai tawaran” dan bukan “satu-satunya pilihan”. Kok? Tidak tilang berarti tidak apa-apa, kan?

“Saya tidak melanggar, Pak!”
Aneh, baru sekarang kudengar Lutfi buka mulut. Tumben. Biasanya, lapar pun dia tidak ngomong. Berarti, tilang lebih menakutkan dairpada kelaparan.

“Anda memotong garis panjang..”
“Saya mengikuti truk itu, kok, Pak..”
“Truk yang mana?”
“Truk Fuso itu!”
“Tapi Anda melanggar dan harus ditilang.” Suara kali ini lebih tegas. “Sidangnya tanggal 26 April...” intonasinya terkesan mengancam.
“Mari, ikut!” Nah, kalau ini perintah, bukan tawaran.

Lutfi mengikuti polisi itu dan kembali dengan pilihan; “tilang atau….’

Sungguh memuncak emosiku kala itu. Capek dan ngatuk jadi satu. Kopi sudah dingin. Air minum tinggal setengah botol. Jarak rumahku masih 150 kilometer lagi. Aku berkata dengan nada meninggi, “Sudah, Lut. Minta tilang saja! Sudah. Tilang! Tilang saja! Kasih itu STNK-nya, Lut. Kita pulang! Soal sidang dan ambil STNK itu gampang. Ayo!”

Lutfi kembali ke belakang mobil, ke tempat para petuigas itu berkumpul. Sementara aku masih duduk di atas jok depan sambil menyandarkan bahu yang mulai terasa linu. Mata merah tanda kantuk yang sangat. Namun, tak lama, tiba-tiba Lutfi membuka pintu, masuk, memasukkan gigi satu, dan menjalankan mobil.

“Kena berapa?” tanyaku.
“Tidak kena.”
“Kok?”
“Tidak usah kata pak petugasnya..”.

Aku tesenyum, meskipun malam terasa kopi tubruk tanpa gula. Kami menyusuri Jembatan suramadu dengan hati gundah tak menentu. Dari jendela, angin malam menyeruak, masuk, mendinginkan pikiran, membawaku ke halaman rumah: kami pulang…

Sebelum tengah malam, sekitar pukul 23.30, kami tiba dengan selamat pada angka 6089 di odometer. Alhamdulillah. Semoga Colt T-120 ini (yang kali ini menempuh jumlah jarak perjalanan mirip namanya, “1.120”) tetap sehat agar bisa menjangkau tempat-tempat sanak kerabat yang belum dikunjungi. Tunggu kami datang kembali…

4 komentar:

  1. Tetapi, mengapa polantas itu mencegat colt T-120 dan tidak mencegat si Fuso? Spontan, saat itu pula, dalam benakku muncul praduga, “Ini pasti karena efek kontur wajahmu, duhai Colt T-120-ku!” << WAJAH TITOS SEPERTI SELALU BERKATA: "Mari, tilang saya Pak Polantas. Saya lugu." Hihihi... Ea Kak? Hihh!! Lucu sampeyan Kak!

    BalasHapus
  2. Iya... Alhamdulillah kalau saya yagn bawa mobil belum pernah sekalipun keluar duit. Bahkan, saya yagn dapat DUIT. Dak percaya? ada "Tilang Berhadiah" di sana...

    di sana...: http://kormeddal.blogspot.com/2009/08/tilang-berhadiah.html

    BalasHapus
  3. Salam kenal pak...
    Saya juga pengguna colt T120 th 1979..kalo libur sering kubawa dari jateng ke Jatim....di daeah jatim pasti ke tilang alasannya ya garis putih tsb...anehnya mobil2 depan ente yg keluaran terbaru juga melanggar nggak kena tilang...Emang pak Polisinya demen ama colt T120 ya...

    BalasHapus
  4. Terima kasih komentarnya, pak.

    Kayaknya memang iya. Betul kata Anda, memagn demen sama Colt T, he..he..he. Saya punya kisah serupa tentang hal macma itu. Ini dia:

    http://titosdupolo.blogspot.com/2009/05/tilang-berhadiah_18.html

    BalasHapus

Takziyah ke Wongsorejo

KAMIS, 2 NOVEMBER 2023  subuhan di Tanjung, Paiton  Rencana dan pelaksanaan perjalanan ke Wongsorejo, Banyuwangi, terbilang mendadak. Saya...